Serambi Makkah Di Antara Selat Timor dan Solor
Serambi Makkah Di Antara Selat Timor dan Solor. Lamakera, lazim dikenal sebagai sebuah perkampungan nelayan muslim.
Tradisi nelayan bagi orang Lamakera terbangun sejak generasi pertama
mendarat dan menempati Kampung Lamakera.
Pilihan tempat seperti halnya Lamakera saat ini seakan merupakan pilihan yang ditakdirkan. Di mana Lamakera yang berada di pesisir pantai paling timur Pulau Solor merupakan daerah pertemuan arus antara Selat Solor dan Laut Timor yang juga berhadapan dengan Samudera Hindia. Efek pertemuan arus itu menimbulkan pesisir pantai Lamakera sering diterpa ombak besar bila musim barat tiba.
Lamakera diapiti tiga bukit yang berkarang, yaitu Bukit Moton Wutun, Bukit Nuba dan Bukit Kabir. Ketiga bukit pengapit Lamakera itu nampak berbatu, gersang dan tandus, menambah sosok Kampung Lamakera semakin kharismatis tangguh dan mempesona yang mengundang berjuta-juta pertanyaan tentangnya.
Faktor kosmologis Lamakera yang demikian itu dan dipadukan oleh faktor teologis yang monoteistik, menjadi bagian yang terpenting dalam merajut watak dan karakter antropologis manusia Lamakera. Kitapun mengenal karakter orang Lamakera yang religius, ramah dan terbuka, mudah berkomunikasi dan berinteraksi dengan manusia dari suku bangsa manapun. Selain itu orang Lamakera juga memiliki watak petarung yang berintegritas, pekerja tangguh yang tidak pernah jera dan lelah walau seribu halangan merintangi.
Orang-orang Lamakera hadir dan menyatakan kediriannya (eksistensi) pada setiap ruang dan waktu dengan kerja. Kerja individual dan kolektif merupakan bukti adanya keunggulan dan puncak dari kualitas kemanusiaan orang-orang Lamakera.
Sesuai dengan karakternya, orang-orang Lamakera mengukuhkan identitas kehormatan ke-Lamakera-annya dengan membangun masjid, madrasah dan rumah suku, atau rumah adat sebagai simbol kultural bahwa orang Lamakera adalah makhluk berbudaya.
Orang Lamakera juga mempertahankan wilayah kedaulatan Lamakera dan membangun prasarana pendidikan. Ini adalah metode transformatif bagi orang Lamakera dalam merawat identitas eksistensi kulturalnya.
Orang-orang Lamakera memiliki etos keterpelajaran dan tradisi untuk menyekolahkan anak-anak di daerah atau pulau manapun yang menjadi sumber ilmu pengetahuan. Kemiskinan dan ketidak-punyaan tidak menyurutkan setiap langkah bagi orang Lamakera untuk menyekolahkan anak-anak mereka di manapun.
Untuk itu orang Lamakera turun ke laut menjadi nelayan, menyelam, menangkap ikan, (hingga berburu ikan Paus), untuk mewujudkan impian mereka agar kelak anak mereka bisa menyandang predikat sarjana. Sarjana atau orang sekolahan kini menjadi identitas kultural dan keadaban orang Lamakera. Setiap bapak dan ibu kami di Lamakera bertekad agar kelak anaknya menyandang predikat sarjana dan menjadi orang terpelajar di masyarakat.
Kesadaran orang-orang Lamakera tentang negerinya yang tidak menjanjikan itu, seakan-akan selalu memberikan perspektif dan semangat restorasi pada orang-orang Lamakera. Bahwa orang Lamakera tidak pernah kehilangan orientasi, artinya selalu saja ada nyali, denyut pergerakan dalam menggapai masa depan. Akal sebagai instrumen rasionalisasi selalu hadir menjadi pisau analisis untuk membedah setiap perkara, mengurai setiap krisis, membedah kekusutan, membuka jalan masa depan.
Agar orang Lamakera sanggup meretaskan jalan lain mewujudkan agenda perubahan.
Di tanah nun tandus dan gersang tak bisa ditumbuhi palawija dan tanaman produktif, mengharuskan orang Lamakera menjadikan laut biru, dan samudera luas sebagai lahan yang berpengharapan untuk meraih impian dan menggapai cita-cita besar di masa depan. Maka lumrahlah bila kemudian orang-orang Lamakera bergumul dan berpacu di laut lepas samudera nun luas, melaksanakan tugas kehidupan sebagai nelayan di tengah hempasan badai dan terpaan gelombang laut.
Laut membiru tenang, sejuk menitip pesan keramahan dan ketawadhuan bagi orang Lamakera. Orang Lamakera juga memiliki watak yang ramah, memiliki relasi sosial dan komitmen sosial yang tinggi pada siapapun sepanjang itu benar dan berfaedah untuk banyak orang.
Namun di sisi lain, laut juga memperlihatkan wataknya yang ganas, juga tak bersahabat, berombak dan bergelombang yang tak jarang menelan jiwa manusia nelayan Lamakera, pulang kembali hanya nama tanpa jasad. Kosmologi laut yang tak kenal damai itu, menitip pesan pada setiap orang Lamakera untuk tetap tegar dan tegas, tidak pernah mengalah apalagi menyerah dalam setiap pertarungan.
Sesuai dengan kodrat kosmologisnya, maka setiap arena pertarungan merupakan proses natural pembentuk karakter, etos dan integritas sebagai manusia Lamakera yang genius secara geniun dan otentik. Olehnya orang Lamakera meski bermigrasi ke daerah manapun, ia tetap selalu survive, tak menyerah apalagi bertekuk lutut pada kondisi tantangan maupun ancaman yang menghalau. Sebagaimana sebuah ungkapan syair yang biasa dikumandangkan oleh para luluhur kami, “Tale tale Rante rante, kera murin dore hala”.
Syair itu menggambarkan betapa sosok manusia Lamakera manusia idealis, bercita-cita tinggi dan berkarya besar merebut setiap peluang perubahan di masa depan. Hal itu hanya bisa dilakukan oleh mereka yang berwatak petarung yang tidak pernah berhenti dalam merebut peluang perubahan masa depan dan ingin selalu menjadi bahagian dari tonggak pengusung kebangkitan masa depan.
Semangat dan etos progresivitas orang Lamakera telah menginstitusi dari generasi ke generasi. Olehnya setiap generasi Lamakera selalu menghadirkan karya-karya peradaban yang monumental dan bersifat kontinuti. Generasi Juang Meti dan Kia Lali Mari Baga Weli Lolo telah meletakan dasar legalitas teritorial Lamakera. Aba Haji Ibrahim Dasi meletakkan pilar dan fondasi peradaban, Abdu Syukur Ibraham Dasi membangun kerangka peradaban, membuka sekolah, dan mengundang guru atau ustadz dari tanah Jawa, Bima, Makasar untuk mendidik para generasi peradaban yang berperan sebagai penyuluh, penyeru dan pendidik di masa depan.
Generasi pertama yang disiapkan Pak Syukur dibekali ilmu agama, dan etos yang gigih, kemauan yang kuat, mereka disebarkan sebagai duta pendidik dan pendakwah yang menyebarkan ajaran Islam di setiap kampung melalui madrasah dan mushollah yang didirikan oleh orang-orang kampung sendiri.
Lamakera bagai tungku api yang terus menyala untuk memasak makanan yang bergizi dan berkualitas untuk dikonsumsi oleh siapapun. Olehnya bagi orang Lamakera, tungku api tak boleh padam, ia terus dinyalahkan dengan kualitas kayu terbaik sehingga sanggup menghasilkan kualitas makanan sehat, bergizi yang siap saji. Itulah analogi terkait proses rekonstruksi peradaban dari Lamakera.
Orang Lamakerapun tentu sangat menyadari bahwa alamnya tropis tidak bisa ditumbuhi tanaman produktif, namun apabila ditanam kepala manusia akan tumbuh beribu-ribu doktor, kaum terpelajar dengan beraneka ragam potensi profesi dan keahlian.
Untuk itu, sekitar 7 tahun lalu, Dr HM Ali Taher Perasong (Ketua Komisi VIII DPR RI) dkk atas dukungan moral dan material para orang tua dan pemangku adat Suku Pito, sebagaimana petuah adat berbunyi “Kota pe hapeng, waha pe ledang” seluruh warga Lamakera lahir dan batin, bahu membahu mendukung gerakan pembangunan Lamakera.
Spirit inilah yang menjadi modal fundamental bagi Dr HM Ali Taher Parasong dkk untuk mencanangkan berdirinya MA Plus Tarbiyah Lamakera. Menyusul datangnya Prof M. Amien Rais meletakkan batu pertama menandai area atau lokasi pembangun madrasah yang saat ini oleh Dr HM Ali Taher Parasong diberi nama Bukit Peradaban Tuan H. Ibrahim Dasi. Kedatangan seorang tokoh Indonesia ternama, Bapak Reformasi ini merupakan energi yang memotivasi etos pergerakan warga muslim Lamakera bahwa gagasan gerakan pembangunan peradaban dari Lamakera berada di depan mata dan bukan hal yang absurd.
Dan pada tanggal 4 Agustus 2017 tepat hari Jumat, adalah hari yang spesial dan amat sangat bersejarah bagi ummat Lamakera. Di mana pada hari itu, Kampung Lamakera mendapat kunjungan Menteri Agama Dr. H. Lukman Hakim Syaifuddin dalam rangka pemberian SK Penegerian MA, MTs, MI se-Indonesia. Menteri dalam kesempatan ini meletakkan pilar pembangunan Madrasah dan pengguntingan pita menandai penegerian MA Plus Lamakera yang diprakarsai oleh Dr. HM. Ali Taher dkk pada tahun 2010 yang silam.
Kunjungan ini mengingatkan kita akan arti penting Lamakera bagi Keluarga besar Kementerian Agama, bahwa dari Lamakera ini berdiri Sekolah Menengah Islam (SMI) pertama se-NTT dan dibukanya kantor Kementerian Agama pertama tahun 1952 sebelum pindah ke Ende dan Kupang.
Dari lereng Bukit Peradaban Ibrahim, dirancang bangunan kompleks kampus Peradaban lokasi MA Plus yang baru saja diresmikan Menteri Agama RI, Lukman Hakim Syaifuddin. Kompleks kampus MAN Plus ini oleh Dr. Ali Taher Parasong salah satu insiator dan Pemrakarsa berdirinya MA Plus diberi nama Abdu Syukur Ibrahim Dasi.
Mengenang irisan tangan ajaib sang perintis dan penggerak pendikan dan dakwah Islamiyah untk kawasan Flores dan NTT pada umumnya. Karya Bpk Abd Syukur dalam bidang pendidikan dan dakwah membuahkan hasil yang amat spektakuler.
Kunjungan Menteri Agama RI ke Lamakera dengan agenda Penegerian 158 Madrasah se Indonesia dan 24 untuk NTT yang dipusatkan di Lamakera, adalah bukan peristiwa serta merta, melainkan mengenang sebuah proses monumental, dialektika sejarah yang pernah terjadi di Lamakera 64 tahun yang silam. Dimana dari kampung Lamakera, negeri berbatu dan tandus ini tempat pertama kali pembukaan Kantor Kementerian Agama Pulau Flores oleh Bpk Abdu Syukur ID sebelum pindah ke Ende dan Kupang. Dan di Lamakera pula merupakan tempat pertama berdirinya SMI di NTT.
Semoga dari Lereng Bukit Tuan Haji Ibrahim Dasi, berdiri dengan kokoh dan megah Kompleks Abd Syukur Ibrahim Dasi, dan dari sana tumbuh berkembang kampus MA Plus Negeri Lamakera, tempat menyemai sumber daya peradaban, yang kelak menjadi anak panah peradaban yang akan melejit jauh ke depan membawa pesan peradaban berdimensi tauhid. Membawa pesan peradamaian, perubahan dan berkemajuan melampaui batas wilayah dan negara.
Saya kira bukanlah optimisme kosong kelak, di suatu saat putra putri Lamakera yang bersekolah di kampus Abdul Syukur di lereng Bukit Peradaban Ibrahim menjadi kekuatan dunia baru. Tentu harapan itu beranjak pada MA Plus memiliki Program Studi Bahasa Asing dan Program Studi IT atau Information and Technology, keduanya menjadi syarat yang terpenting dan diperlukan bagi setiap siswa.
Penguasaan bahasa dan IT seakan memiliki kunci untuk membuka pintu-pintu peradaban dunia. Dengan begitu anak Lamakera menjadi anak-anak zaman yang sanggup merambah dan menembus meruntuhkan hegemoni dunia. Semoga Lamakera kita membawa berkah kebangkitan peradaban Islam bagi dunia. Dari rahim peradaban Lamakera terlahir generasi peradaban yang brilian dan cemerlang, generasi yang sanggup merebut masa depan dan menjadi bagian dari kekuatan peradaban masa depan dunia.
Sukses yang mengagumkamkan ini tidak terlepas peran cerdas Dr HM. Ali Taher Parasong. Seorang ideolog dan arsitektur peradaban Islam dewasa ini. Ia putra Lamakera yang geniun dan memiliki visi futuristis yang sangat kuat. Meski daerah pemilihan politiknya di Banten, tetapi ia memiliki perhatian dan komitmen yang kuat untuk membangun NTT, khususnya kampung halamannya Lamakera.
Di tangannya terlihat nyata cetak biru potret baru wajah Lamakera berorientasi internasional, setelah generasi Abd Syukur. Generasi Abd Syukur meletakan dasar pembangunan sumber daya Lamakera untuk NTT dan Indonesia. Abd Syukur menanam tonggak peradaban Islam dengan membuka sekolah dan mencari guru Islam dari Jawa untuk mengajar di Lamakera. Kame moi rara hala he, kame hope subban nuru rara. Syair ini mengisahkan kesungguhan orang Lamakera untuk merebut masa depan dengan mencari guru yg dapat mengajarkan ilmu untuk bisa menjadi kekuatan masa dan bagian dari masa depan.
Sebelumnya generasi ‘aba’ Tuan Haji Ibrahim Dasi terlebih dahulu meletakan landasan politik dan moral kokoh bagi orang Lamakera untuk mendukung setiap misi, pemikiran dan gerakan perubahan. Mari kita hadapkan wajah kita pada kiblat peradaban baru Lamakera dengan tetap bersandar pada kerangka landasan masa lalu yang kokoh, insya Allah orang Lamakera sanggup merengkuh dan menggapai peradaban di masa depan.
Pilihan tempat seperti halnya Lamakera saat ini seakan merupakan pilihan yang ditakdirkan. Di mana Lamakera yang berada di pesisir pantai paling timur Pulau Solor merupakan daerah pertemuan arus antara Selat Solor dan Laut Timor yang juga berhadapan dengan Samudera Hindia. Efek pertemuan arus itu menimbulkan pesisir pantai Lamakera sering diterpa ombak besar bila musim barat tiba.
Lamakera diapiti tiga bukit yang berkarang, yaitu Bukit Moton Wutun, Bukit Nuba dan Bukit Kabir. Ketiga bukit pengapit Lamakera itu nampak berbatu, gersang dan tandus, menambah sosok Kampung Lamakera semakin kharismatis tangguh dan mempesona yang mengundang berjuta-juta pertanyaan tentangnya.
Faktor kosmologis Lamakera yang demikian itu dan dipadukan oleh faktor teologis yang monoteistik, menjadi bagian yang terpenting dalam merajut watak dan karakter antropologis manusia Lamakera. Kitapun mengenal karakter orang Lamakera yang religius, ramah dan terbuka, mudah berkomunikasi dan berinteraksi dengan manusia dari suku bangsa manapun. Selain itu orang Lamakera juga memiliki watak petarung yang berintegritas, pekerja tangguh yang tidak pernah jera dan lelah walau seribu halangan merintangi.
Orang-orang Lamakera hadir dan menyatakan kediriannya (eksistensi) pada setiap ruang dan waktu dengan kerja. Kerja individual dan kolektif merupakan bukti adanya keunggulan dan puncak dari kualitas kemanusiaan orang-orang Lamakera.
Sesuai dengan karakternya, orang-orang Lamakera mengukuhkan identitas kehormatan ke-Lamakera-annya dengan membangun masjid, madrasah dan rumah suku, atau rumah adat sebagai simbol kultural bahwa orang Lamakera adalah makhluk berbudaya.
Orang Lamakera juga mempertahankan wilayah kedaulatan Lamakera dan membangun prasarana pendidikan. Ini adalah metode transformatif bagi orang Lamakera dalam merawat identitas eksistensi kulturalnya.
Orang-orang Lamakera memiliki etos keterpelajaran dan tradisi untuk menyekolahkan anak-anak di daerah atau pulau manapun yang menjadi sumber ilmu pengetahuan. Kemiskinan dan ketidak-punyaan tidak menyurutkan setiap langkah bagi orang Lamakera untuk menyekolahkan anak-anak mereka di manapun.
Untuk itu orang Lamakera turun ke laut menjadi nelayan, menyelam, menangkap ikan, (hingga berburu ikan Paus), untuk mewujudkan impian mereka agar kelak anak mereka bisa menyandang predikat sarjana. Sarjana atau orang sekolahan kini menjadi identitas kultural dan keadaban orang Lamakera. Setiap bapak dan ibu kami di Lamakera bertekad agar kelak anaknya menyandang predikat sarjana dan menjadi orang terpelajar di masyarakat.
Kesadaran orang-orang Lamakera tentang negerinya yang tidak menjanjikan itu, seakan-akan selalu memberikan perspektif dan semangat restorasi pada orang-orang Lamakera. Bahwa orang Lamakera tidak pernah kehilangan orientasi, artinya selalu saja ada nyali, denyut pergerakan dalam menggapai masa depan. Akal sebagai instrumen rasionalisasi selalu hadir menjadi pisau analisis untuk membedah setiap perkara, mengurai setiap krisis, membedah kekusutan, membuka jalan masa depan.
Agar orang Lamakera sanggup meretaskan jalan lain mewujudkan agenda perubahan.
Di tanah nun tandus dan gersang tak bisa ditumbuhi palawija dan tanaman produktif, mengharuskan orang Lamakera menjadikan laut biru, dan samudera luas sebagai lahan yang berpengharapan untuk meraih impian dan menggapai cita-cita besar di masa depan. Maka lumrahlah bila kemudian orang-orang Lamakera bergumul dan berpacu di laut lepas samudera nun luas, melaksanakan tugas kehidupan sebagai nelayan di tengah hempasan badai dan terpaan gelombang laut.
Laut membiru tenang, sejuk menitip pesan keramahan dan ketawadhuan bagi orang Lamakera. Orang Lamakera juga memiliki watak yang ramah, memiliki relasi sosial dan komitmen sosial yang tinggi pada siapapun sepanjang itu benar dan berfaedah untuk banyak orang.
Namun di sisi lain, laut juga memperlihatkan wataknya yang ganas, juga tak bersahabat, berombak dan bergelombang yang tak jarang menelan jiwa manusia nelayan Lamakera, pulang kembali hanya nama tanpa jasad. Kosmologi laut yang tak kenal damai itu, menitip pesan pada setiap orang Lamakera untuk tetap tegar dan tegas, tidak pernah mengalah apalagi menyerah dalam setiap pertarungan.
Sesuai dengan kodrat kosmologisnya, maka setiap arena pertarungan merupakan proses natural pembentuk karakter, etos dan integritas sebagai manusia Lamakera yang genius secara geniun dan otentik. Olehnya orang Lamakera meski bermigrasi ke daerah manapun, ia tetap selalu survive, tak menyerah apalagi bertekuk lutut pada kondisi tantangan maupun ancaman yang menghalau. Sebagaimana sebuah ungkapan syair yang biasa dikumandangkan oleh para luluhur kami, “Tale tale Rante rante, kera murin dore hala”.
Syair itu menggambarkan betapa sosok manusia Lamakera manusia idealis, bercita-cita tinggi dan berkarya besar merebut setiap peluang perubahan di masa depan. Hal itu hanya bisa dilakukan oleh mereka yang berwatak petarung yang tidak pernah berhenti dalam merebut peluang perubahan masa depan dan ingin selalu menjadi bahagian dari tonggak pengusung kebangkitan masa depan.
Semangat dan etos progresivitas orang Lamakera telah menginstitusi dari generasi ke generasi. Olehnya setiap generasi Lamakera selalu menghadirkan karya-karya peradaban yang monumental dan bersifat kontinuti. Generasi Juang Meti dan Kia Lali Mari Baga Weli Lolo telah meletakan dasar legalitas teritorial Lamakera. Aba Haji Ibrahim Dasi meletakkan pilar dan fondasi peradaban, Abdu Syukur Ibraham Dasi membangun kerangka peradaban, membuka sekolah, dan mengundang guru atau ustadz dari tanah Jawa, Bima, Makasar untuk mendidik para generasi peradaban yang berperan sebagai penyuluh, penyeru dan pendidik di masa depan.
Generasi pertama yang disiapkan Pak Syukur dibekali ilmu agama, dan etos yang gigih, kemauan yang kuat, mereka disebarkan sebagai duta pendidik dan pendakwah yang menyebarkan ajaran Islam di setiap kampung melalui madrasah dan mushollah yang didirikan oleh orang-orang kampung sendiri.
Lamakera bagai tungku api yang terus menyala untuk memasak makanan yang bergizi dan berkualitas untuk dikonsumsi oleh siapapun. Olehnya bagi orang Lamakera, tungku api tak boleh padam, ia terus dinyalahkan dengan kualitas kayu terbaik sehingga sanggup menghasilkan kualitas makanan sehat, bergizi yang siap saji. Itulah analogi terkait proses rekonstruksi peradaban dari Lamakera.
Orang Lamakerapun tentu sangat menyadari bahwa alamnya tropis tidak bisa ditumbuhi tanaman produktif, namun apabila ditanam kepala manusia akan tumbuh beribu-ribu doktor, kaum terpelajar dengan beraneka ragam potensi profesi dan keahlian.
Untuk itu, sekitar 7 tahun lalu, Dr HM Ali Taher Perasong (Ketua Komisi VIII DPR RI) dkk atas dukungan moral dan material para orang tua dan pemangku adat Suku Pito, sebagaimana petuah adat berbunyi “Kota pe hapeng, waha pe ledang” seluruh warga Lamakera lahir dan batin, bahu membahu mendukung gerakan pembangunan Lamakera.
Spirit inilah yang menjadi modal fundamental bagi Dr HM Ali Taher Parasong dkk untuk mencanangkan berdirinya MA Plus Tarbiyah Lamakera. Menyusul datangnya Prof M. Amien Rais meletakkan batu pertama menandai area atau lokasi pembangun madrasah yang saat ini oleh Dr HM Ali Taher Parasong diberi nama Bukit Peradaban Tuan H. Ibrahim Dasi. Kedatangan seorang tokoh Indonesia ternama, Bapak Reformasi ini merupakan energi yang memotivasi etos pergerakan warga muslim Lamakera bahwa gagasan gerakan pembangunan peradaban dari Lamakera berada di depan mata dan bukan hal yang absurd.
Dan pada tanggal 4 Agustus 2017 tepat hari Jumat, adalah hari yang spesial dan amat sangat bersejarah bagi ummat Lamakera. Di mana pada hari itu, Kampung Lamakera mendapat kunjungan Menteri Agama Dr. H. Lukman Hakim Syaifuddin dalam rangka pemberian SK Penegerian MA, MTs, MI se-Indonesia. Menteri dalam kesempatan ini meletakkan pilar pembangunan Madrasah dan pengguntingan pita menandai penegerian MA Plus Lamakera yang diprakarsai oleh Dr. HM. Ali Taher dkk pada tahun 2010 yang silam.
Kunjungan ini mengingatkan kita akan arti penting Lamakera bagi Keluarga besar Kementerian Agama, bahwa dari Lamakera ini berdiri Sekolah Menengah Islam (SMI) pertama se-NTT dan dibukanya kantor Kementerian Agama pertama tahun 1952 sebelum pindah ke Ende dan Kupang.
Dari lereng Bukit Peradaban Ibrahim, dirancang bangunan kompleks kampus Peradaban lokasi MA Plus yang baru saja diresmikan Menteri Agama RI, Lukman Hakim Syaifuddin. Kompleks kampus MAN Plus ini oleh Dr. Ali Taher Parasong salah satu insiator dan Pemrakarsa berdirinya MA Plus diberi nama Abdu Syukur Ibrahim Dasi.
Mengenang irisan tangan ajaib sang perintis dan penggerak pendikan dan dakwah Islamiyah untk kawasan Flores dan NTT pada umumnya. Karya Bpk Abd Syukur dalam bidang pendidikan dan dakwah membuahkan hasil yang amat spektakuler.
Kunjungan Menteri Agama RI ke Lamakera dengan agenda Penegerian 158 Madrasah se Indonesia dan 24 untuk NTT yang dipusatkan di Lamakera, adalah bukan peristiwa serta merta, melainkan mengenang sebuah proses monumental, dialektika sejarah yang pernah terjadi di Lamakera 64 tahun yang silam. Dimana dari kampung Lamakera, negeri berbatu dan tandus ini tempat pertama kali pembukaan Kantor Kementerian Agama Pulau Flores oleh Bpk Abdu Syukur ID sebelum pindah ke Ende dan Kupang. Dan di Lamakera pula merupakan tempat pertama berdirinya SMI di NTT.
Semoga dari Lereng Bukit Tuan Haji Ibrahim Dasi, berdiri dengan kokoh dan megah Kompleks Abd Syukur Ibrahim Dasi, dan dari sana tumbuh berkembang kampus MA Plus Negeri Lamakera, tempat menyemai sumber daya peradaban, yang kelak menjadi anak panah peradaban yang akan melejit jauh ke depan membawa pesan peradaban berdimensi tauhid. Membawa pesan peradamaian, perubahan dan berkemajuan melampaui batas wilayah dan negara.
Saya kira bukanlah optimisme kosong kelak, di suatu saat putra putri Lamakera yang bersekolah di kampus Abdul Syukur di lereng Bukit Peradaban Ibrahim menjadi kekuatan dunia baru. Tentu harapan itu beranjak pada MA Plus memiliki Program Studi Bahasa Asing dan Program Studi IT atau Information and Technology, keduanya menjadi syarat yang terpenting dan diperlukan bagi setiap siswa.
Penguasaan bahasa dan IT seakan memiliki kunci untuk membuka pintu-pintu peradaban dunia. Dengan begitu anak Lamakera menjadi anak-anak zaman yang sanggup merambah dan menembus meruntuhkan hegemoni dunia. Semoga Lamakera kita membawa berkah kebangkitan peradaban Islam bagi dunia. Dari rahim peradaban Lamakera terlahir generasi peradaban yang brilian dan cemerlang, generasi yang sanggup merebut masa depan dan menjadi bagian dari kekuatan peradaban masa depan dunia.
Sukses yang mengagumkamkan ini tidak terlepas peran cerdas Dr HM. Ali Taher Parasong. Seorang ideolog dan arsitektur peradaban Islam dewasa ini. Ia putra Lamakera yang geniun dan memiliki visi futuristis yang sangat kuat. Meski daerah pemilihan politiknya di Banten, tetapi ia memiliki perhatian dan komitmen yang kuat untuk membangun NTT, khususnya kampung halamannya Lamakera.
Di tangannya terlihat nyata cetak biru potret baru wajah Lamakera berorientasi internasional, setelah generasi Abd Syukur. Generasi Abd Syukur meletakan dasar pembangunan sumber daya Lamakera untuk NTT dan Indonesia. Abd Syukur menanam tonggak peradaban Islam dengan membuka sekolah dan mencari guru Islam dari Jawa untuk mengajar di Lamakera. Kame moi rara hala he, kame hope subban nuru rara. Syair ini mengisahkan kesungguhan orang Lamakera untuk merebut masa depan dengan mencari guru yg dapat mengajarkan ilmu untuk bisa menjadi kekuatan masa dan bagian dari masa depan.
Sebelumnya generasi ‘aba’ Tuan Haji Ibrahim Dasi terlebih dahulu meletakan landasan politik dan moral kokoh bagi orang Lamakera untuk mendukung setiap misi, pemikiran dan gerakan perubahan. Mari kita hadapkan wajah kita pada kiblat peradaban baru Lamakera dengan tetap bersandar pada kerangka landasan masa lalu yang kokoh, insya Allah orang Lamakera sanggup merengkuh dan menggapai peradaban di masa depan.
Comments
Post a Comment